Dalam suatu kunjungan ke sebuah desa terisolir…
Kabupaten Wonosobo. Kecamatan Wadaslintang. Desa Kemejing. Rombongan dari Semarang ada empat orang: aku, dua orang ibu, dan supir. Dari Kabupaten Wonosobo ada empat orang, ditambah seorang dari Kodim Wonosobo.
Untuk menuju ke sana, dari Kota Wonosobo naik mobil kira-kira dua jam. Jalannya naik… Turun… Meliak… Meliuk…. Sampai ke Obyek Wisata Bendungan Wadaslintang. Selanjutnya perjalanan disambung dengan naik perahu motor menyeberang Waduk Wadaslintang. Aku udah pernah naik perahu motor, jadi bagiku gak istimewa amat. Tapi buat 2 ibu yang pergi bersamaku, rupanya ini pengalaman pertama. Jadi mereka agak-agak heboh.
Sebenarnya ada jalan darat dari Kecamatan Wadaslintang ke Desa Kemejing. Tapi itu berarti harus muterin waduk. Gak masalah kalau lagi musim kemarau. Tapi kalau lagi musim hujan, jalan itu gak mungkin bisa dilalui mobil. Jalannya belum aspal, masih tanah. Juga nanjak. Katanya, jalan kaki aja sepatunya bisa ketinggalan, nancep di jalan waktu kita melangkah. Parah banget kan. Jadi diputuskan naik perahu saja.
Naik perahu agak repot. Posisi penumpang harus imbang kanan kiri. Kalau enggak, perahunya miring ke sisi yang lebih banyak orangnya. Karena penumpangnya 9 orang, maka duduknya dibagi: empat di kanan, empat di kiri, satu di tengah. Aman deh.
Setelah sekitar 20 menit ‘berlayar’, kami mendarat. Rupanya langsung sampai ke pinggir Desa Kemejing. Di sana kami diantar melihat lokasi pembuatan jalan makadam sepanjang 1250 m. Tapi kami cuma melihat sekitar separuhnya. Soalnya jalannya nanjak, dan tatanan batu yang baru dipasang masih tajam (karena pakenya batu belah). Jadi jalannya lumayan ngos-ngosan.
Jalan baru ini lebarnya 2,5 m. Tadinya Cuma berupa jalan setapak yang lebarnya kurang dari 1 meter, dan salah satu sisinya tebing. Ngeri gak tuh kalau kepleset…. Tapi warga yang dilalui jalan itu merelakan sebagian tanah mereka untuk peningkatan jalan tersebut. Tanpa ganti rugi! Mulia banget kan…..
Batu yang digunakan untuk pengerasan jalan itu, ternyata juga diangkut pake perahu menyeberang waduk. Proses menaikkan batu ke perahu dan menurunkannya ke daratan dengan cara estafet. Jadi orangnya mesti banyak, jejer-jejer, lalu saling mengulurkan batu satu persatu. Pake acara pikul memikul pula. Bayangkan.
Siang-siang jalan-jalan bikin haus. Untung warga Desa Kemejing baik hati. Kami disuguhi kelapa muda ijo, fresh from the tree! Seorang satu, gak habis. Seger banget…
Sudah itu kami diajak ke rumah salah satu tokoh masyarakat. Katanya jaraknya lumayan jauh, bapak-bapak yang mengantar kami khawatir kami gak kuat jalan ke sana. Makanya dikerahkanlah pasukan warga bermotor untuk mengantar kami (padahal cuma tiga orang ibu-ibu, bapak-bapaknya tetep aja disuruh jalan…).
Ternyata sebenarnya gak jauh-jauh amat. Kalau gak kasihan sama yang udah njemput, aku sih lebih milih jalan kaki. Habis kalau bonceng motor malah ngeri. Jalannya jalan tanah yang habis kehujanan. Ban motornya selip-selip mulu. Aku takut jatuh. Si bapak bilang, ‘Ibu anteng aja, saya sudah tiap hari lewat jalur ini’. Mana bisa, aku bahkan sempet harus turun karena motornya bener-bener gak bisa jalan dan terpaksa harus diangkat dulu….
Kondisi jalan di Desa Kemijing semua seperti itu. Ada sih sebagian yang sudah makadam, tapi tertutup guguran tanah dari tebing di sisi jalan. Jadi ya sama juga bohong, jalannya tetep aja becek dan selip. Desa Kemejing adalah satu-satunya desa di Kabupaten Wonosobo yang belum punya sejengkal pun jalan aspal. Haru.
Di rumah Pak Darno kami dijamu makan siang. Sayur asem, mujair, ayam, oseng-oseng, sambel… semuanya enak. Sayur asemnya hasil kebun. Mujairnya hasil waduk. Ayamnya…. motong kali ya. Dagingnya alot banget. Aku baru ngeh waktu Bu Darno berkata, ‘Maaf, cuma seadanya. Habis kami baru tahu kalau mau ada tamu tadi jam sepuluh…’ Padahal waktu itu jam setengah satu. Kalau diitung-itung, dari menyembelih sampai mateng, Bu Darno cuma punya waktu sekitar dua jam. Pantesan alot. Ayam kampung kan masaknya harus berjam-jam kalau mau empuk.
Setelah beramah tamah dengan keluarga Pak Darno, Pak Kades, Pak Carik dan beberapa warga yang lain, kami pun pulang. Langit sudah mulai mendung. Mudah-mudahan tidak hujan. Soalnya air waduk lagi surut. Jadi dari dermaga ke perahu ada tambahan jalan kaki di daratan yang timbul karena permukaan air yang turun. Dan itu gak mudah, jalannya gak berbentuk, terjal, licin. Kalau hujan bisa lebih licin lagi.
Seorang Bapak berkata, “Mudah-mudahan hujannya nanti kalau kita sudah naik mobil”. Aku sambung, “Mudah-mudahan hujannya nanti kalau kami sudah sampai di Semarang”. Jauh bangeeeeet….
Langitnya makin gelap. Sampai di tengah waduk gerimis mulai turun. Lama-lama deras. Semua penumpang ngumpul di tengah, berdiri. Kalau duduk gak cukup, dan kalau di pinggir terciprat hujan. Semua orang diam, aku juga. Gimana kalau sampai di tepi nanti hujan belum turun. Gak ada yang bawa payung, dan pasti susah naik ke tepi waduk… Lama-lama aku capek berdiri, jadi aku duduk di pinggir, ngelihatin hujan. Basah-basah dikit, seger aja.
Beberapa menit sebelum perahu merapat, hujannya reda. Bukan ding, di sisi waduk yang itu rupanya memang belum hujan. Semua berseru, ‘Alhamdulillaaah…’. Kami selamat kambali ke lokasi tempat mobil kami diparkir. Setelah mengucapkan terima kasih kepada para pengantar, kami pamit untuk pulang. Hujan baru benar-benar turun ketika kami sudah kira-kira limabelas menit dalam perjalanan pulang, dan kami selamat sampai di Semarang.
…….
…….
Alhamdulillah, meskipun ada yang bilang rumahku agak-agak mblusuk, kampung, tepencil, de el el, gak ada apa-apanya dibanding dengan Desa Kemejing. Jalan di perumahanku semua paving block. Jarak dari perumahanku ke jalan raya cuma +/- 700 meter, walaupun masih setengah jam dari kota. Tapi itu reachable!
Bayangkan, sebelum ada waduk, dan belum ada SD di Desa Kemejing, anak Pak Darno kalau berangkat sekolah jam tiga pagi, jalan kaki. Kalau disuruh berangkat jam empat nggak mau, bisa terlambat. Selain jauh, pasti medannya sulit banget (aku lupa bertanya berapa jarak dari rumah ke sekolah). Di Semarang, aku masuk kantor jam tujuh. Tapi aku berangkat paling pagi jam enam seperempat. Naik mobil atau motor. Nyaman.
Hebat banget anak Pak Darno. Kemauannya itu loh! Sekarang dia udah jadi tentara di Surabaya. Kalau aku, mungkin pilih gak sekolah aja….
…….
…….
Alhamdulillah, hujan baru turun setelah kami menyeberang kembali. Itu sekitar jam dua kurang sedikit. Padahal katanya, biasanya begitu lewat jam dua belas, pasti sudah hujan. Ternyata sewaktu hujan di tengah waduk, semua orang berdoa mohon keselamatan. Aku juga sih…. Tapi gak nyangka kalau ternyata para bapak itu ternyata takut banget. Rupanya mereka pernah punya pengalaman, kehujanan di tengah penyeberangan. Deras. Berangin. Dan untuk beberapa waktu perahu yang mereka tumpangi berputar-putar aja di tengah waduk. Oh……
Aku bersyukur atas perlindungan yang Allah berikan kepada kami sepanjang perjalanan.
Allah menyayangiku.
2 comments:
wah senang loh bisa kemari..
apa kabar mbak lastri/lala..
piye dg sikembar
wah mantep mas, q juga orang kumejing cuman saat ni di lagi kuliah di jakarta ... ya begitulah keadaan desaku semoga ke depan aku bisa mengubahnya menjadi desaa yang maju ....
Post a Comment