Sunday, August 31, 2014

Got That Sewing Addiction Back

I loved crafting since I was little. In junior high school, I got sewing lesson. I liked the subject. My father, who was able to sew, supported me by teaching me how to use a sewing machine.

So I started to sew everything. I made dolls. Purses. Bags. Then I had more things to sell besides greeting cards I made with water color painting.

It's been years since the last time I sewed. The sewing machine my mother gave me was out of order. The thread kept tangling, and I got frustrated. 

Later I sold the machine and bought a portable one. I tried to make some dresses but not succeeded (yet). I failed at the armpit curves. I decided to sew something more simple, something with less cutting and curves. Bed sheets and pillow covers. And suddenly I wanted to do that again: bags.

So, with some bed sheets fabric left over, I started to make one. At the beginning it was a little hard to concentrate and keep working in the right steps. I skipped one step once and had to dismantle some stitches to start over again.



And there it goes. I'm glad Ibit loves it. 

Sunday, August 24, 2014

Tell A Story

There is a video in my cell phone from our trip to Bali last year. It is a video of Aik playing with sand (and water) at Tanah Lot Beach.



Lately he liked to watch the video, and then pointed him self and say "Aik!" Then another word "Aih!" and he moved his hand up and down like playing something. It took a while before I understand he was trying to say "Aik main air (Aik playing water)"

In another time when he played the racing game Asphalt Heat 7 on Dan's iPad, he again shouted "Aik!" then moved his hand like rolling some thing. So I took a look at the iPad and he pointed at a ferris wheel on the track's back ground. Guess this time he was telling "Aik ride this." Or something like that. Yes he once rode a carrousel at a night festival. The carrousel stood next to a ferris wheel.

It's another achievement he's made, as he now comes to a phase of telling his experiences with his limited vocabulary. 

And more to come.

Monday, August 18, 2014

Remaja Yang Kami Cintai.

Tahun ini usia Ibit 14, sudah kelas 9.

Bulan lalu, ada tawaran kredit motor murah khusus karyawan kantor Dan. Murahnya kebangetan sampai menggemaskan bikin ndak tahan. Meskipun kami sepakat bahwa anak-anak baru boleh berkeliaran naik motor sesuai usia yang ditetapkan, iseng-iseng Dan menawari Ibit, kalau seandainya dibelikan motor dia pengin yang apa.

Ketika anak-anak seusianya merengek bahkan ngambek minta diajari bahkan dibelikan motor, inilah yang dikatakan Ibit menjawab tawaran bapaknya.

"Aku belum pengin naik motor. Kalau aku bisa naik motor, nanti aku malas jalan kaki. Kalau boleh, uangnya dibelikan kamera saja."

Selama ini Ibit berangkat sekolah bareng aku, dan pulang naik bus sambung ojek dari jalan raya sampai rumah. Begitu juga kalau dia pengin jalan bareng teman-temannya, ke mana saja naik angkutan umum. Ada jatah bulanan untuk transport dia. Kecuali sedang sangat capek, Ibit memilih jalan kaki ketimbang naik ojeknya. Uang ojeknya, 3000 rupiah, dia simpan. Kadang buat jajan, kadang buat beli buku, dan sekarang sedang rajin nabung karena pengin beli iPhone :D

***
Lebaran kemarin, sempat Mbah Kakung (ayah Dan) menanyai Ibit, sudah bisa naik motor atau belum.

"Belum."
"Bapak ndak ngajari?"
"Bapak mau ngajari, malah mau beliin, tapi aku nggak mau."
"Kenapa? Bapakmu itu kelas 6 SD sudah bisa naik motor lho!"
"Iya, aku tahu. Teman-temanku juga sudah pada bisa."
"Lha kenapa Ibit ndak mau? Apa apa? Ibit suka motor apa? Bapak mau beliin Mio apa Vario? Ibit suka yang matic apa yang manual?"
"Nggak Mbaaaah. Aku nggak mau belajar naik motor. Nanti kalau sudah SMA aku mau langsung belajar nyetir mobil ajah!"

Lalu dia berlalu meninggalkan Mbah Kakungnya terbahak.

***
Dan sudah belajar naik motor bebek punya Mbah Kakung sejak kelas 6 SD. Aku sendiri baru diajari naik motor oleh bapakku saat kelas 3 SMA, 17 tahun. Ar dan Ir, yang sekarang kelas 6, sebenarnya juga sudah minta belajar naik motor. Kawan-kawan sebaya mereka di perumahan sudah bisa semua. Tapi aku dan Dan tetap bilang 'tidak.' Tidak, sampai saatnya tiba.

***



Karena naik motor memang bukan hanya soal kakinya 'nyampai,' ngegas dan ngerem. Ada kewaspadaan yang harus dipasang, atas segala gerak pengguna jalan lain. Ada emosi yang harus dikendalikan, merespon segala kemungkinan kejadian di jalan. Ada tanggung jawab atas keselamatan dan kenyamanan diri sendiri dan orang lain.

 Ya sudah lah. Kamera saja. Bekas ndak papa ya. 

Selamat ulang tahun. We love you.

Sunday, August 3, 2014

Dapur Rumah Kami

Sebenarnya ini dapur rumah Simbah, Simbah dari Dan. Seperti umumnya di desa tempat Simbah tinggal, rumah Simbah adalah model Jawa yang lengkap terdiri dari pendapa (rumah depan), rumah belakang dengan senthong-senthong (kamar) dan dapur. Luas keseluruhan hampir satu blok di perumahan tempat kami tinggal :D

Rumah-rumah dengan pakem asli, hanya menghadap ke utara atau selatan. Dan dapur selalu berada di sebelah timur. Pasti ada filosofinya. Tapi aku ndak sempat baca-baca atau cari info tentang ini. Dapur, dalam bahasa Jawa disebut 'pawon'.

Ada banyak bagian penting dari pawon. Mari kita mulai dari dinding sebelah timur. Panci, kuali, dandang, wajan, ditempatkan di atas rak yang disebut 'paga', digantung di dinding.

Paga.

Untuk tempat penyimpanan air, pawon yang asli memakai gentong tanah dan siwur (gayung) dari batok kelapa. Tapi Bapak mengganti gentong dengan bak berlapis porselen supaya lebih mudah dibersihkan. Meskipun begitu, Simbah tetap menyebutnya 'gentong'.

Gentong dan sinar matahari pagi menembus sela-sela genting.
Di tengah ruangan terdapat pawon, yaitu tungku, yang menjadi nyawa ruangan ini. Mungkin ini sebabnya, ruangan ini, dapur, juga disebut pawon. Simbah punya tiga set pawon yang masing-masing mempunyai satu lubang di depan untuk tempat kayu bakar, dan tiga lubang tungku. Sekali membakar kayu bisa untuk 'ngobori' tiga alat masak sekaligus. Biasanya masak air di tengah. Kemudian di kanan kirinya mengukus nasi dan memasak sayur atau menggoreng lauk.

Pawon.
Tidak ada rak bumbu. Tapi ada amben/dipan ini. Di sini diletakkan segala macam bumbu dan bahan masakan yang masih mentah. Di sini pula Simbah atau Mamak, kadang aku kalau pas bantu-bantu, duduk memotong sayuran dan meracik bumbu.

Amben bumbon.

Piring, gelas, sendok, mangkok, cobek, sutil dll. diletakkan di rak.

Rak piring.

Jika sedang tidak memasak macam-macam, menyalakan api di pawon bisa jadi boros kayu. Ada tungku kecil untuk satu panci/kuali saja. Tungku ini disebut 'keren'. Bukan, bukan dibaca seperti 'keren' yang artinya 'cool' itu. Keren dengan 'e' lemah seperti pada kata 'seperti'. Keren ini biasa digunakan kalau hanya ingin memanasi sayur. Atau masak mi instan :D

Keren.

Itu  kalau Simbah. Berhubung aku tidak bisa daden geni (menyulut api di tungku) maka dengan semena-mena aku menyusupkan kompor gas ke pawon Simbah. Sengaja tidak kutampilkan fotonya di sini, merusak keindahan. 

Di sudut lain ada 'jayengan'. Di sini tempat bikin aneka minuman. Teh, kopi, atau sekedar air putih. Ada tiga termos yang siap dipakai untuk bikin teh jika ada tamu sewaktu-waktu. Ya iya lah. Kalau aku di rumah cukup memanaskan sedikit air di atas kompor kalau mau bikin teh atau minuman panas. Tapi kalau pakai cara itu di sini, belum selesai menyalakan api di pawon, tamu yang mau dibuatkan minum sudah selesai berkunjung dan pamit pulang :))

Ada yang hilang dari sudut ini. Dulu ada kendi di atas meja bundar pendek itu. Sekarang entah di mana. Pemenuhan kebutuhan air dingin digantikan oleh kulkas.

Jayengan.

Ada lemari khusus tempat menyimpan bahan makanan tahan lama. Minyak goreng, gula pasir, teh, kopi. Juga perabotan yang jarang dipakai. Baskom, piring, mangkok, rantang, teko. Ada dua lemari seperti ini di pawon.
Lemari.

Inilah penampakan pawon Simbah dari satu sudut. Di dapur ini dimasak dan disiapkan segala hidangan setiap ada hajatan. Gotong-royong di desa Simbah masih sangat kuat. Setiap ada hajatan, tetangga akan datang untuk membantu memasak. Ada yang spesialis menanak nasi dengan dandang dan kukusan, ada yang spesialis bikin bumbu pecel, dan spesialis-spesialis lainnya. Kalau pas rame-ramenya, bisa 20 orang berada di pawon Simbah sekaligus. Menggelar tikar atau duduk di dingklik. Merajang,  mengulek, mengaduk, membetulkan api, dan tentu saja, ngerumpi ;)



Meskipun masak dengan kayu yang berasap, tapi ruangan yang tinggi dan lega ini membubungkan asap ke atap dan keluar menembus celah-celah genting. Tetap lega. Dan aku pernah baca lupa di mana, konon seorang ibu yang memasak di dapur model kuno semacam ini, dalam sehari bisa mondar-mandir sampai 12 km. Luar biasa!