Tuesday, June 24, 2014

Belajar Mencari Keasyikan

Aku melihat, menangkap, mempelajari, bahwa setiap anak punya 'kemampuan' yang berbeda dalam mencari keasyikan dalam sebuah permainan. Ir, misalnya, bisa nemu hal sepele 'virtual reality' ini. Ibit lebih asyik dengan membaca atau menggambar. Ar bisa mati gaya kalau tidak ada game.

Lain lagi dengan Dek Aik. Terus terang aku agak bingung menangkap keasyikan apa yang dia sukai. Maksudku, aku tahu dia suka nonton aneka video belajar untuk bayi dan anak-anak atau main subway surfer. Dia suka bermain dengan huruf dan angka. Dan cukup betah bermain mobil-mobilan (aku butuh berbulan-bulan untuk membuat dia mau bermain mobil-mobilan). Tapi dia menolak diajak mencorat-coret apalagi mewarnai gambar. Dia menolak bermain lego. 

Barangkali karena sudah terlalu lama tidak punya bayi (yang kemudian jadi batita lalu balita) setelah Ar dan Ir, tapi tidak juga banyak-banyak baca karena merasa sudah pernah menjalani. Aku memeras lagi ingatan, apa yang kulakukan jaman Ibit atau Ar Ir bayi. Bagaimana membuat mereka bermain. Tapi rasanya nihil. Mereka seperti bisa menemukan permainan mereka sendiri. Suka keluar rumah, nemu ranting, mengganggu laba-laba yang sedang bertapa, main sepeda...

Lalu aku mencoba memulai bermain dengan apa yang sedang Dek Aik suka sekarang-sekarang ini, yang dia lihat di video belajar. Huruf dan angka. Teletubbies. Bentuk dan warna. Apa pun kuhubungkan dengan itu.  Aku menggambar sendiri bentuk-bentuk lingkaran, kotak, segitiga, bintang, hati. Lumayan, dia tidak menolak untuk mewarnai, meskipun tidak betah cukup lama juga. Aku mengajak dia mencoret di whiteboard menuliskan huruf dan angka. Menggambar teletubbies. Lumayan betah 10 menit. Menyusun toples plastisin menjadi menara, sambil menghitung, karena dia tidak mau bermain dengan plastisinnya.

Kemarin dari sore sampai jelang tidur, aku merasa sukses karena hampir full menjauhkannya dari handphone dan tablet. Kebetulan kakak-kakaknya sedang berlibur di Embah. Embak juga sedang agak tidak enak badan, kusuruh tidur saja, istirahat. Aku punya waktu sepenuhnya berduaan. Dengan Dek Aik. Aku menyuruh dia duduk di keranjang cucian, lalu kudorong keliling ruangan. Aku mengajaknya menyusun lego menjadi pesawat, dan bahagianya, dia tertarik. Lumayan betah. 

Yang paling seru dari semua adalah pura-pura jadi anjing... --"
Iya, salah satu aktivitas di kelas terapinya adalah merangkak. Aktivitas ini tetap diberikan meskipun dalam tahap perkembangannya dia sudah melalui merangkak sebelum berdiri dan berjalan. Dan entah kenapa dia suka sekali merangkak. Meskipun di kelas terapi sudah tidak dilakukan lagi, ganti dengan aktivitas lanjutan, dia masih suka melakukannya di rumah. Dan, harus ada yang merangkak bersamanya. Keliling rumah, keliling meja, naik turun tangga. 

Salah satu kebiasaan barunya adalah menggenggam mainan di kedua tangannya. Bisa apa saja. Kadang lolipop, kadang mobil-mobilan, kadang sisir, sendok, botol minyak telon. Digenggam aja gitu, dibawa ke mana-mana, kadang sampai dibawa tidur. Kebetulan kemarin dia sedang menggenggam dua mobil-mobilan kecil ketika dia mengajakku merangkak. Karena aku lihat dia kesulitan merangkak sambil menggenggam mainan, aku ajari dia untuk menggigit satu mobil-mobilan. Satu lagi aku yang gigit. Lalu kami merangkak dengan bebas  ke mana-mana. 

Sialnya dia suka. Padahal mulutku sudah pegal nian, tapi dia tidak mau berhenti. Setiap kualihkan ke permainan lain, tidak lama pasti dia menyodorkan mobil-mobilan ke mulutku, 'Bibih... bibih..." (maksudnya 'gigit'), lalu menarik badanku ke lantai, merangkak. Oke deh. Punggung dan lutut masih tahan, tapi sungguh, rahang dan otot mulut benar-benar sampai kram. Dan herannya, Dek Aik tetap semangat. Meskipun berkali-kali mobil jatuh dari mulutnya, sambil ketawa dia pasang di mulut lagi, merangkak lagi. Ini hebat, karena biasanya, jika dia menjatuhkan mainan walaupun tanpa sengaja, pasti marah-marah sendiri, bisa sampai nangis tantrum. Jadi kuikuti saja, walaupun ences jatuh dari mulutnya sepanjang jalur, dan aku terpaksa menapak jejaknya sambil bawa lap....

Sekitar pukul setengah sembilan, aku tidak kuat lagi. Dan sepertinya dia juga kecapekan. Minta mimik susu. Kupikir setelah minum susu dia akan tidur, ternyata bangun lagi. Tapi aku sudah nyerah. Jadi kubiarkan saja, ketika dia meraih tab dan mulai main subway surfer. Aku suka melihat dia main game itu, aku sendiri ga bisa hahaha...

Pukul sembilan kutarik pelan tabnya. Kuajak dia tidur. Beneran capek dia, nyerah dan pasrah. Dan, oh ya, hal membahagiakan lainnya akhir-akhir ini, adalah, sebelum tidur dia mulai mau menirukan doa sebelum tidur. Dulu dia cuma mendengarkan dan menutup dengan bilang Am..mi.. (maksudnya 'aaamiin'). Jadi sekarang aku melafalkan doa lebih pelan, per suku kata, agar dia bisa menirukan.

Ini foto lama. Semalam terlalu asyik kami bermain, sampai aku tidak sempat ambil gambar apa pun :D


Last night was totally a quality time we had. 

Friday, June 13, 2014

in love with yoga

When I refused to join yoga few years ago, it wasn't because I doubt my endurance nor flexibility. It was more because I thought yoga with its slow movements was no fun. I chose aerobic exercises with its speed and beats.



One day I realized that I have lost much flexibility. I wanted to get it back, and that's why I decided to join yoga class few months ago. I know I wouldn't get all my flexibility back, but at least it will help my body which strarts become stiff.

Lately I found that yoga, in the slow motion, works well on my bones and muscles; and breath. No, yoga doesn't push you to di impossible poses. it adapts to each body. It helps you to get your natural abilities and condition.

Only in few months, I have got lost of benefits. Those slow movements worked well. I have become a little more flexible. More strength on my muscle. But the best part is, how it fixed my posture. I used to stand a little bent forward, now I stand straight as a homo sapien should. And I do a better breathing management while singing.

I believe that every exercise has their own specific benefits, but generally it helps us to live healthier. The most important thing is you gotta enjoy them. So I choose aerobic for cardio exercise and yoga for strength and flexibility. 

I'm in love with both.

Saturday, June 7, 2014

The Weight of Being Twins

Aku pernah bilang, jadi anak kembar pasti sulit. Mulai dari hal sederhana ketika orang masih terus bertanya, 'kamu Ar apa Ir?' sampai ikatan istimewa yang orang bukan kembar tak akan bisa mengerti.

Walaupun aku berusaha untuk memperlakukan anak kembarku sebagai dua orang yang berbeda, ternyata dalam diri mereka sendiri ada ikatan yang tidak bisa disangkal. Suatu saat Ar harus mengikuti kegiatan di sekolah, dan Ir tidak. Ir tampak gelisah di rumah. Kuajak jalan-jalan pun sepertinya tidak banyak membantu. Kutanya dia, 'Apa kamu harus selalu bersama-sama dengan Ar? Kamu sering tidak bersama Mbak Ibit, biasa aja kan?'

Inilah jawabnya, 'Kalau bukan saudara kembar mungkin biasa aja. Tapi Ar adalah saudara kembarku, rasanya aneh kalau tidak ada dia.'

***
Hari ini Ar mengikuti Khotmil Qur'an, semacam wisuda untuk santri Qiroati. Ar dan Ir diasuh oleh pengajar yang berbeda, yang katanya mempunyai standar dan gaya mengajar yang berbeda. Ada satu tahap yang belum dilalui Ir untuk bisa lulus.

Khotmil Qur'an dilakukan setelah serangkaian ujian (imtaz) yang cukup melelahkan. Dan tampaknya cukup berat.

Malam sebelum acara, Ir menyatakan tidak ingin datang. Aku juga tidak berusaha membujuknya. Aku membayangkan, meskipun tidak berani memancing pengakuan, ada yang membahas dengan Ir, kenapa dia belum lulus padahal Ar sudah. Aku sendiri tidak menuntut apa-apa. Kenyataan bahwa mereka diasuh ustadz yang berbeda memudahkanku menenangkan Ir. Entah jika mereka diasuh ustadz yang sama, pasti akan lebih sulit membesarkan hati Ir agar tidak minder.

Iya, orang cenderung membandingkan anak kembar, dan berharap mereka sama dalam segala hal, termasuk prestasi. Bahkan guru kelas mereka sendiri. Aku pernah dengan tegas meminta pada guru mereka, untuk tidak sekali pun melakukannya.

Tadi pagi sebelum berangkat, Ar tampak gugup. Dalam acara khotmil akan diadakan 'ujian terbuka'. Hadirin boleh bertanya apa saja kepada santri, dan mereka harus menjawabnya di depan hadirin.

Kata Ar, 'Harusnya Ir ikut berangkat ke acara khotmil, supaya aku tidak deg-degan.'

Aku hanya berani menawari Ir untuk ikut berangkat. Syukurlah dia berubah pikiran, dan mau.

Aku yakin Ar senang melihat Ir datang, (Ar berangkat lebih pagi untuk persiapan), seperti Ir juga tampak senang akhirnya memutuskan datang. Dia memotret Ar saat prosesi penyerahan ijasah. 



Aku bisa mengatur agar mereka bisa sunat bareng. Tapi acara hari ini mau tidak mau melempar aku ke masa depan yang masih entah. Bagaimana nanti saat menyelesaikan kuliah? Apakah mereka bisa bareng, atau salah satu lebih cepat dari lainnya? Bagaimana saat mereka nanti menikah? Bagaimana perasaan mereka menghadapi itu semua? Aku berharap mereka bisa mengatasi perasaan apa pun yang mungkin ada. Aku yakin.

'Kalau tahun depan aku khotmil, gantian kamu yang motret aku ya, Ar,' kata Ir.

Dan aku nangis diam-diam...