Saturday, June 7, 2014

The Weight of Being Twins

Aku pernah bilang, jadi anak kembar pasti sulit. Mulai dari hal sederhana ketika orang masih terus bertanya, 'kamu Ar apa Ir?' sampai ikatan istimewa yang orang bukan kembar tak akan bisa mengerti.

Walaupun aku berusaha untuk memperlakukan anak kembarku sebagai dua orang yang berbeda, ternyata dalam diri mereka sendiri ada ikatan yang tidak bisa disangkal. Suatu saat Ar harus mengikuti kegiatan di sekolah, dan Ir tidak. Ir tampak gelisah di rumah. Kuajak jalan-jalan pun sepertinya tidak banyak membantu. Kutanya dia, 'Apa kamu harus selalu bersama-sama dengan Ar? Kamu sering tidak bersama Mbak Ibit, biasa aja kan?'

Inilah jawabnya, 'Kalau bukan saudara kembar mungkin biasa aja. Tapi Ar adalah saudara kembarku, rasanya aneh kalau tidak ada dia.'

***
Hari ini Ar mengikuti Khotmil Qur'an, semacam wisuda untuk santri Qiroati. Ar dan Ir diasuh oleh pengajar yang berbeda, yang katanya mempunyai standar dan gaya mengajar yang berbeda. Ada satu tahap yang belum dilalui Ir untuk bisa lulus.

Khotmil Qur'an dilakukan setelah serangkaian ujian (imtaz) yang cukup melelahkan. Dan tampaknya cukup berat.

Malam sebelum acara, Ir menyatakan tidak ingin datang. Aku juga tidak berusaha membujuknya. Aku membayangkan, meskipun tidak berani memancing pengakuan, ada yang membahas dengan Ir, kenapa dia belum lulus padahal Ar sudah. Aku sendiri tidak menuntut apa-apa. Kenyataan bahwa mereka diasuh ustadz yang berbeda memudahkanku menenangkan Ir. Entah jika mereka diasuh ustadz yang sama, pasti akan lebih sulit membesarkan hati Ir agar tidak minder.

Iya, orang cenderung membandingkan anak kembar, dan berharap mereka sama dalam segala hal, termasuk prestasi. Bahkan guru kelas mereka sendiri. Aku pernah dengan tegas meminta pada guru mereka, untuk tidak sekali pun melakukannya.

Tadi pagi sebelum berangkat, Ar tampak gugup. Dalam acara khotmil akan diadakan 'ujian terbuka'. Hadirin boleh bertanya apa saja kepada santri, dan mereka harus menjawabnya di depan hadirin.

Kata Ar, 'Harusnya Ir ikut berangkat ke acara khotmil, supaya aku tidak deg-degan.'

Aku hanya berani menawari Ir untuk ikut berangkat. Syukurlah dia berubah pikiran, dan mau.

Aku yakin Ar senang melihat Ir datang, (Ar berangkat lebih pagi untuk persiapan), seperti Ir juga tampak senang akhirnya memutuskan datang. Dia memotret Ar saat prosesi penyerahan ijasah. 



Aku bisa mengatur agar mereka bisa sunat bareng. Tapi acara hari ini mau tidak mau melempar aku ke masa depan yang masih entah. Bagaimana nanti saat menyelesaikan kuliah? Apakah mereka bisa bareng, atau salah satu lebih cepat dari lainnya? Bagaimana saat mereka nanti menikah? Bagaimana perasaan mereka menghadapi itu semua? Aku berharap mereka bisa mengatasi perasaan apa pun yang mungkin ada. Aku yakin.

'Kalau tahun depan aku khotmil, gantian kamu yang motret aku ya, Ar,' kata Ir.

Dan aku nangis diam-diam...

1 comment:

Nathalia Diana Pitaloka said...

kayanya mereka baik2 aja.. smoga :)
mungkin kita sbagai orang tua aja yg terlalu khawatir..