Di Ubud Monkey Forest Bali, tahun lalu, menyalami kawan.
Tadi malam, saat melewati rumah itu di perjalanan pulang, seperti biasa ada gonggongan menyapa kami. Kami tidak takut atau lari, karena anjing-anjing di rumah itu dikurung dalam kandang.
"Kasihan sebenarnya, anjing-anjing itu dikurung," kataku pada Ibit.
Ibit lalu bercerita, bertahun-tahun yang lalu ketika dia masih SD, di rumah itu hanya ada seekor anjing. Anjing itu kurus dan tampak tidak terurus. Waktu itu Ibit masih sering jalan kaki ke rumah temannya di dekat masjid.
"Kalau main ke rumah Nabila, aku bawa satu sosis dari rumah untuk anjing itu."
Anjing kurus itu, kata Ibit, harusnya gagah, seperti Timmy anjing anggota Lima Sekawan. Tapi kurus sampai terlihat tulangnya, dan bulunya kusut kusam.
Entah apakah anjing itu masih anjing yang sama sekarang, pasti sudah sangat tua. Entah apakah juga pemilik yang sama. Kami tidak pernah melihat manusia pemiliknya.
.
Aku tidak akan tahu, kalau Ibit tidak bercerita tadi malam. Aku tidak tahu, kenapa Ibit baru bercerita sekarang. Mungkin dia takut aku melarang dia mengambil sosis untuk anjing. Padahal sekarang, aku hampir menitikkan air mata, haru dan bangga, karena anakku memiliki rasa iba pada makhluk yang menderita. Iya, makhluk yang oleh banyak orang dibenci karena najis.
.
"Kalau tidak najis, aku pengin memelihara anjing," kata Ibit.
Iya, aku juga. Karena anjing lebih cerdas dan lebih perasa ketimbang kucing. Sayangnya akan sangat repot buat kami untuk memelihara anjing tanpa merantai atau mengurungnya di kandang.
Maka cukuplah kami memelihara kucing. Dan aku yakin, ketika bahkan agama dapat dijadikan alasan permusuhan; berteman dengan binatang akan menumbuhkan kasih sayang. Bukan hanya pada sesama manusia (terlebih pada sesama manusia), tapi juga pada makhluk Tuhan lainnya.
.
Aku tidak akan tahu, kalau Ibit tidak bercerita tadi malam. Aku tidak tahu, kenapa Ibit baru bercerita sekarang. Mungkin dia takut aku melarang dia mengambil sosis untuk anjing. Padahal sekarang, aku hampir menitikkan air mata, haru dan bangga, karena anakku memiliki rasa iba pada makhluk yang menderita. Iya, makhluk yang oleh banyak orang dibenci karena najis.
.
"Kalau tidak najis, aku pengin memelihara anjing," kata Ibit.
Iya, aku juga. Karena anjing lebih cerdas dan lebih perasa ketimbang kucing. Sayangnya akan sangat repot buat kami untuk memelihara anjing tanpa merantai atau mengurungnya di kandang.
Maka cukuplah kami memelihara kucing. Dan aku yakin, ketika bahkan agama dapat dijadikan alasan permusuhan; berteman dengan binatang akan menumbuhkan kasih sayang. Bukan hanya pada sesama manusia (terlebih pada sesama manusia), tapi juga pada makhluk Tuhan lainnya.
Supaya jangan pernah terlintas sekelebatan pun di benak mereka, benci, apalagi kata 'bunuh'.
6 comments:
Alhamdulillah, mbak Ibit sungguh inspiratif.
Komen opo neh yaaa...
Mendadak merasa wagu dhewe..
Hahahahaha..
Bapakku dulu pengeenn banget pelihara anjing. Baru rencana & kedengeran tetangga, lalu ada yg protes. Batal. Skg tetangga sebelah rumah punya anjing dan sering mengonggong di dlm rumah yg kata tetangga yg rumahnya rada jauh dari target, suara itu menganggu sekali. Padahal yg sebelah2nya tidak terganggu. 😑
anjing lebih cerdas dan lebih perasa ketimbang kucing
perbandingan kecerdasan antar binatang seperti itu entahlah apa indikatornya, tapi ya gpp lah tiap orang berhak menilai apapun juga atas sebuah objek yang menurutnya bisa dinilai
dan alasan permusuhan antar manusia itu bisa apa saja, bisa seremeh apa pun, namanya juga manusia, makhuk rumit yang kadang terlihat begitu simpel seperti kucing padahal tidak, walaupun sama-sama makhluk hidup
kulo ki komen opoooo
haha makasih Bunsal
di sini ada yang miara anjing dan selalu ada tetangga yang rewel rupanya ya hihi
iya nih komen apa to Om, pemahamanku ndak nyampai nih :|
Post a Comment