Monday, June 22, 2015

Sebelum Menjadi Anak SMP

Ibit memakai jeansku, kemeja ayahnya, kerudungku. Kalau saja kakinya sudah cukup besar, mungkin dia pakai sepatuku.


Eh, kaki Ir ternyata lebih besar dari kakiku. Sebelum turun di halaman kantor Dinas Pendidikan untuk mengurus legalisir piagam Macapatnya, dia baru sadar tadi pakai sandal bukan sepatu. Maka dia pinjam sepatu Ibit, sepatu kets, jadi tidak masalah itu sepatu laki atau perempuan, Dia berjalan sambil meringis kesempitan. Sambil menunggu proses legalisir dia mencoba sepatuku, masih sempit juga, sedikit.

"Aku baru tahu kalau mendaftar SMP harus mengurus berkas ke kantor Dinas," katanya.
Itu karena kamu punya piagam yang harus dipastikan keabsahannya. Ar tidak.

"Dulu kupikir cari sekolah tidak perlu memikirkan nilai US. Pokoknya dari TK ndaftar SD, dari SD ndaftar SMP, lanjut terus tinggal pilih mau ke mana."

Kapan kamu tahu tentang itu?

"Kelas empat. Atau kelas lima."

Dan setelah itu baru kamu mulai serius belajar?

Dia tertawa.

***

Mengenang bagaimana sejak kelas satu hingga lima keduanya sekolah seperti semaunya, peringkat yang selalu di angka lebih dari setengah jumlah siswa di kelas. Kelas enam menjadi sedikit mendebarkan buatku, karena mereka masih mengikuti kurikulum 2006, masih memakai nilai hasil Ujian Sekolah (pengganti Ujian Nasional) untuk mendaftar SMP.

Mereka (juga aku dan Dan) ingin mereka bisa masuk ke SMP yang sama dengan Ibit. Karena berbagai alasan. Tapi dengan cara belajar dan nilai pas-pasan yang mereka biasanya punya, itu dekat di batas angan. Setelah beberapa kali pertemuan dengan guru wali kelas, dan memantau hasil beberapa kali try out, aku baru bisa mengurangi sedikit kekhawatiranku. Nilai mereka secara keseluruhan meningkat. Aku merasa cukup mereka belajar di sekolah dengan jam tambahan. Tidak ada les lagi. Hanya belajar pelajaran apa saja satu jam tiap malam. 

Kecemasan tidak pernah benar-benar hilang. Selalu ada kekhawatiran baru. Dan demikianlah kau menyayangi buah hatimu. Beban 'anak kembar' membebaniku. Apa yang harus kulakukan (kukatakan) jika nilai US yang satu lebih rendah (atau lebih tinggi) dari yang lain dengan selisih yang nyata? Bagaimana kalau mereka tidak bisa masuk sekolah yang sama? Dengan semua 'doktrin' dari sekitar, termasuk aku, bahwa kamu harus berusaha masuk SMP ini dan bukan yang itu?

Tuhan pasti menyayangiku, Dia tidak ingin aku menanggung beban pikiran. Nilai Ar nol koma sekian lebih tinggi, dan Ir punya piagam kejuaraan. Dengan sedikit penjelasan, Ir merasa tenang, bahwa bekal mereka untuk mendaftar SMP kurang lebih sama.


***

Di meja verifikasi piagam, Ir lupa syair Dhandhanggula yang ditembangkannya saat lomba. Aku tidak nemu video rekamannya yang (seingatku) kupajang di sini. Bapak penguji memancing-mancing Ir untuk mengingat tembang lain. Ibu petugas verifikasi di sebelahnya sibuk dengan berkas lalu memandang ke pintu masuk dan berkata, "Lho, itu anak kenapa malah berdiri di sana?"

Aku dan Ir menoleh ke sana. Ar
.
Itu saudaranya, kataku. Ir masih di kursinya, sedang mengingat syair tembang Gambuh.

"Loh, kok ada dua? Medeni!"

Ar lebih dulu maju ke meja verifikasi berkas pendaftaran, Ir baru menyusul sesudahnya, setelah selesai verifikasi piagam dan uji kemampuan. Berkas ditumpuk, duduk di kursi tunggu menanti panggilan.

Ar.
Khrisna.
Siapa lagi.
Siapa lagi.

Ar kembali membawa kartu pendaftaran. Pendaftaran selesai.

"Kenapa aku nggak segera dipanggil?" tanya Ir.

Karena memang kamu tidak langsung di urutan belakang Ar, ada beberapa anak selagi kamu diuji nembang.

Ir dipanggil ke meja terakhir. Dari kejauhan aku perhatikan, dua ibu guru petugas pendaftaran berpandangan, keheranan, mengecek lagi berkas pendaftaran. Aku sudah menduga mungkin mereka akan begitu. Dan mendekat membantu menenangkan mereka.

"Ini Ir, Bu. Tadi Ar."

"Oh? Oooh... ah... hahaha... makanya... tadi kayanya sudah... oh belum ya? Hahaha..."

***


Selesai untuk hari ini. Tinggal memantau jurnal setiap hari. Semoga tidak perlu cabut berkas dan mengulang proses dari awal ya Le.