Monday, July 20, 2020

Adaptasi

Sudah lebih dari tiga bulan sejak ditetapkan anjuran untuk tinggal di rumah dalam berbagai judul. Pembatasan Sosial Berskala Besar, Pembatasan Kegiatan Masyarakat, Jogo Tonggo, whatever. Yang jelas semua sebatas anjuran. Kecuali perjalanan antar kota dengan transportasi publik yang jadi agak ribet dengan berbagai ketentuan. Bisa diakali, tapi ya itu kan ribet juga.

Kenyataannya, masyarakat dan pemerintah sama-sama nggak betah berlama-lama diam di rumah. Dengan pembatasan dalam berbagai judul aja rasanya seperti omong kosong, sekarang setelah diumumkan 'new normal', orang merasa hidup sudah kembali seperti 'normal' sebelum pandemik. Tidak peduli betapa banyak penjelasan tentang syarat dan ketentuan yang berlaku dalam new normal, orang lebih terpaku pada pernyataan 'sudah boleh beraktivitas' dan mengabaikan persyaratan.

Mal-mal buka lagi. Bahkan tempat bermain anak. Tempat-tempat usaha, tempat-tempat keramaian yang sempat ditutup atau minimal dibatasi jam operasionalnya, buka lagi seperti biasa. Untung sekolah masih belum diperkenankan mengadakan aktivitas di sekolah. Dinas Pendidikan Kabupaten masih menetapkan kondisi belum aman sampai dua bulan ke depan, dan akan dikaji kembali sesuai perkembangan keadaan.

Di sekolah Aik, sudah banyak  yang mengeluhkan pembelajaran dengan sistem daring. Ya sih, mau tak mau orang tua jadi harus terlibat lebih banyak, setengah menggantikan peran guru dalam mendampingi anak belajar. Buatku, yang jauh sebelum pandemi sudah terbiasa 'mengulang' lagi (bahkan lebih keras) apa yang dipelajari Aik di sekolah dengan metode yang lebih mudah dipahami Aik, lebih mudah beradaptasi. Tapi rupanya, masih ada orang tua murid yang menyerahkan urusan belajar kepada sekolah. Bahkan kemarin di acara pertemuan wali murid ada yang mempertanyakan 'Kalau hanya belajar daring dengan materi-materi yang dibagikan di grup whatsapp, bagaimana dengan pembelajaran akhlak yang juga menjadi tujuan utama sekolah ini?'

Halo. Bukankah pendidikan akhlak anak mestinya menjadi tanggung jawab orang tua? Jika dalam keterbatasan keadaan saat ini, sekolah terpaksa dilakukan lewat zoom, grup whatsapp, dan tugas-tugas, maka anak ya berada di rumah sepenuhnya. Lantas orang tua mempertanyakan tanggung jawab sekolah dalam menerapkan pendidikan akhlak anak?

Ketika kusampaikan bahwa ketetapan Dinas pasti dilatarbelakangi pertimbangan yang komprehensif, respon yang muncul salah satunya (dan ada pendukungnya) adalah, 'Sekarang di mana-mana sudah ramai. Pasar buka, mal buka, masjid buka. Anak saya sudah main keluar karena kalau dikurung di dalam rumah jadi stres. Saya sama sekali tidak keberatan kalau mau belajar di sekolah lagi. Yang penting pakai masker, jaga jarak.'

I don't know. Jika keadaan seperti ini, semua orang menganggap tidak apa-apa beraktivitas seperti biasa yang penting pakai masker dan cuci tangan, jangan-jangan pandemik akan butuh waktu makin lama untuk berakhir. Karena pada kenyataannya, masker-masker berubah fungsi menjadi kalung. Orang masih berkerumun tanpa jarak. Lihat saja foto-foto yang bertebaran di media sosial. Meet up di kafe ga pakai masker. Untel-untelan sehabis senam. Berkerumun sehabis bersepeda dalam rombongan. Biasa aja katanya. 

Mau tidak mau, akhirnya kita yang harus menyesuaikan diri dengan keadaan ini. Tidak lagi hanya menjaga diri dari paparan virus, tapi juga dari orang-orang yang tidak peduli bahwa mereka mungkin menebar virus. Menghindari kerumunan. Mengetatkan masker, sesedikit mungkin menyentuh barang yang bukan milik kita, sering-sering cuci tangan, dan menjaga jarak dengan orang lain. Terutama yang tampak abai dengan protokol kewaspadaan.

Anak juga, akhirnya harus diajari kebiasaan baru. Bagaimana dia harus berperilaku di luar rumah. Aik sudah sejak beberapa waktu lalu aku ijinkan main keluar. Dengan catatan harus pakai masker. Tidak dekat-dekat dengan teman. Tidak pegang mainan teman. Tidak masuk rumah orang. 

Aku ajak ke supermarket, dengan melihat-lihat keadaan. Jika parkiran terlihat sepi, baru berani masuk. Di sini lebih ketat. Untung di supermarket banyak tulisan  'jaga jarak', jadi dia setiap saat 'diingatkan'. Yang  harus kita ingatkan lagi terus menerus adalah 'jangan sentuh apa pun.'

Ada pengalaman lucu suatu hari. Dia melihat ibu-ibu yang antri menimbang dan tidak jaga jarak. Aik dengan tanpa beban berseru, 'Jaga jarak satu meter!" Si ibu langsung mundur pelan. Di lain waktu, dia sampai tantrum karena mengingatkan seorang anak usia 3 tahunan yang menyentuh handrailing pembatas di kasir. "Don't touch anything! No! Jangan sentuh apa pun! Dilarang!" Si anak yang tentu saja belum begitu paham, justru makin kencang pegangan railing. Aik makin keras. Si anak jadi takut dan menangis. Aku sibuk menenangkan Aik dan minta maaf. Ortu si anak langsung menggendongnya menjauh. Huft.



Hey, kalian sudah nyoba ke mal di  masa pandemik ini? Aku mencoba datang ke tiga mal dan semuanya sepi. Jumlah pengunjungnya kurang dari setengah biasanya sebelum pandemik. Mungkin sepertiga. Seperti di tempat umum lain, selain cek temperatur tubuh, disediakan hand sanitizer di pintu masuk. Jangankan jaga jarak 1,5 meter, 10 meter juga bisa. Jadi aku memberanikan diri mengajak Aik. Sambil sebisa mungkin mengalihkan perhatiannya dari tempat bermain, karena aku belum berani membiarkan dia bermain di sana. Aik tidak terlalu suka hand sanitizer. Tapi dia suka cuci tangan. Aku suka pada tempat berbelanja yang menyediakan tempat cuci tangan dan sabun daripada sekedar sanitizer di pintu masuk. Aik tidak pakai disuruh, otomatis cuci tangan sendiri.


Dulu, kalau mau cuci tangan kita harus ke wastafel yang jadi satu dengan toilet. Sedangkan sekarang, sebisa mungkin kita tidak masuk ke toilet umum.

Ada perkembangan baru. Aik sekarang tidak takut hand dryer. Dia bahkan tanpa disuruh, langsung mengeringkan tangan di situ seusai cuci tangan. One more step ahead.

No comments: