Wednesday, November 28, 2018

UAS Pertama Aik

Dalam sejarah menjadi ibu, baru kali ini aku merasakan 'anaknya yang tes ibunya yang stres'
Dengan Ibit, Ar, dan Ir, menemani mereka belajar hanya memastikan mereka belajar. Membantu sedikit yang mereka tida paham dan kutahu. Waktu SD, aku masih bisa mengajari sendiri pelajaran-pelajaran yang akan diteskan. Mulai SMP aku minta tolong guru les untuk datang ke rumah. Di SMA Ibit lebih nyaman ikut bimbingan belajar, sementara Ar dan Ir tetap memilih privat di rumah. Tapi soal belajar selama tes, aku benar-benar hanya 'mengawasi'.

Ini semester pertama Aik di SD, Ulangan Akhir Semester pertama buatnya. Juga buatku. See, metode belajar buat Aik selalu harus beda. Ya sebenarnya metode belajar yang efektif untuk tiap anak bisa saja berbeda. Bahkan Ar dan Ir yang notabene terbikin dari satu telur pun perlu pendekatan yang berbeda untuk bisa paham. Tapi Aik ini benar-benar beda. Maksudku... beda. Sudut pandangnya terhadap segala sesuatu sering membatasi jalan baginya untuk memahami sesuatu. Paham kan maksudku? Tidak. Ya... pokoknya begitu lah. Jadi tantangan bagiku adalah menemukan jalan itu, sudut pandang itu. Sekali ketemu, akan mudah baginya memahami apa yang diajarkan.

Sistem belajar tematik di sekolahnya, menggabungkan semua mata pelajaran dalam satu tema. Jadi materi ulangan dalam satu hari bukan satu mata pelajaran, tapi satu tema. Misalnya hari pertama, temanya My Body. Di situ sudah tercakup IPA, IPS, Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa, Agama, semua tentang my body. Sejauh ini Aik tidak kesulitan dengan Matematika dan Bahasa Inggris. Hal-hal yang bersifat hafalan juga lebih mudah dia kuasai. Yang jadi tantangan adalah hal-hal yang perlu menarik kesimpulan. Sudut pandang Aik yang unik, yang kubilang tadi, membuat logika dia juga beda. Dan susah mengajaknya berlogika seperti kebanyakan orang.

Sebenarnya, aku menanamkan kebiasaan pada anakku untuk tiap hari belajar, mengulang lagi apa-apa yang dipelajari di sekolah, sehingga ketika mau ulangan atau bahkan semesteran, yang judulnya belajar bukan lagi belajar dari nol tapi tinggal refresh. Ke Aik pun begitu. Belajar untuk Aik lebih 'menyebar' lagi. Bukan hanya setiap hari, tapi setiap saat dan tanpa terasa belajar. Bisa di tengah main aku ajak mengingat Rukun Iman. Atau sebelum baca doa tidur mengingat hadits tentang memberi hadiah. Tapi aku tetap merasa perlu untuk refresh semua dalam satu kali duduk untuk persiapan tes.

Hari Pertama.
Catatan belajar. Aku fokus pada mempelajari kata-kata Bahasa Jawa untuk anggota tubuh dalam ngoko dan krama inggil. Aku menggunakan metode identifikasi dengan kartu, seperti yang dipakai di tempat terapi. It worked. Aik hapal semua pasangan kata dalam Bahasa Indonesia - Jawa (ngoko dan krama inggil) - English. Yang lupa kuantisipasi, identifikasi dan penggolongan kelompok kata-kata dalam setiap bahasa. Walhasil, pagi hari sebelum berangkat sekolah, aku tes sekilas hasil belajar malam sebelumnya. "Apa Bahasa Inggrisnya tangan?" Jawabnya, "Asta." Asta adalah 'tangan' dalam bahasa krama inggil. Jadi... sehari-hari Aik suka-suka ngomong pakai Bahasa Inggris tanpa menyadari (dan kubiarkan tanpa kukenalkan) bahwa itu Bahasa Inggris. Jadi dia pikir ya dia itu bahasa aja, alat bicara, tidak peduli bahasa apa. Memang malamnya aku bilang 'kita belajar Bahasa Jawa', kemudian sekilas menunjukkan padanya bahwa 'hands, foot' dan teman-temannya adalah Bahasa Inggris. Tapi sepertinya yang tertancap di kepalanya adalah 'Bahasa Inggris' dan kata-kata baru yang dia pelajari, kata-kata Bahasa Jawa. Tapi tidak ada waktu untuk memperbaiki. Jadi kulepas dia berangkat sekolah sambil tertawa.

Catatan tes. Guru kelas maupun shadow teachernya, sore harinya melaporkan hal yang sama. Aik menolak mengerjakan soal tes. Dua-duanya bilang 'mood Aik jelek sekali hari ini.'
Oke oke. Aku menduga itu monday sicknessnya yang parah. Karena berangkat sekolah tiap Senin memang pertarungan. Libur di Sabtu dan Minggu bikin Senin terasa neraka.
Kata shadow teacher, setiap dibacakan soal Aik langsung jengah dan menolak. Padahal belum sampai ke bagian favorit Aik, Matematika dan Bahasa Inggris. Hanya 7 dari 30 soal yang dikerjakan. Oh wow.
Akhirnya kuminta ijin pada guru kelas, untuk hari kedua mengerjakan mulai dari Bahasa Inggris dan Matematika agar dia gembira dan moodnya lebih bagus untuk mengerjakan soal lainnya.


Hari Kedua.

Catatan belajar. Aku memastikan tambahan identifikasi. Pengelompokan bahasa. Tidak ada yang berbeda dengan yang lainnya.

Catatan tes. Aik mengerjakan soal mulai dari English dan Matematika. Moodnya lebih bagus, tapi... tetap menolak mengerjakan selain dua pelajaran itu. Setelah dibujuk gurunya dan disemangati teman-temannya, 11 dari 30 soal. Progress, but, not enough. Shadow teacher bilang dia sudah membacakan setiap soal dan bahkan (dengan seijin guru kelas) menuliskan operasional matematika dari soal cerita. Oh no. Ini tidak benar. Aku minta Bu Shadow untuk membiarkan Aik membaca dan memahami sendiri soal ceritanya. Kalau dia kesulitan baru dibantu. Jangan dari awal disuapi.
Tantangan utama adalah membuat Aik mau mengerjakan semua soal. Dan karena aku tidak terlibat langsung di arena, pertempuran harus dilakukan oleh guru-gurunya, sementara aku dari jarak jauh cuma bisa memberi masukan dan berdoa.

Hari Ketiga.

Catatan belajar. Malam ini aku mencoba memberi Aik simulasi soal. Jadi bukan sekedar mengulang pelajaran. God I should have been doing this since the beginning!
Aku menyiapkan soal pilihan ganda. Aku minta dia baca sendiri. Dan menuliskan sendiri operasional matematikanya. No Problem. Tapi Aik menolak menyilang jawaban yang benar.
'X salah. Ini benar. Benar tidak boleh X'
Oh my God. Silang adalah tanda salah. Kenapa jawaban benar harus disilang?
'Dilingkari boleh?' tanyaku.
'Boleh,' katanya.
Aku langsung kontak kedua gurunya tentang ini. 'Besok dilingkari saja, kalau begitu,' kata Bu Guru.



Catatan Tes.
Aik mengerjakan tes dengan gembira. Membaca sendiri dan tidak dituntuni. Selesai 21 dari 30 soal.

Catatanku untuk Shadow Teacher: kita (termasuk saya) sering underestimate Aik. Padahal yang dibutuhkan Aik adalah kepercayaan bahwa dia bisa. Bukan ketidakpercayaan dan uluran bantuan untuk hal yang tidak dia butuhkan.

Masih ada kesempatan untuk menyelesaikan dua materi tes tema sebelumnya yang belum tuntas. Ini salah satu hal yang kusuka dari sekolah tempat Aik belajar. Di kelas awal, anak benar-benar dibikin nyaman, dijauhkan dari stres, dibikin gembira. Guru berusaha mengenali dan mengikuti cara belajar yang efektif untuk tiap anak, terlebih ABK.

Seperti janjiku pada diri sendiri, pada Aik, pada psikolognya Aik, pada Bapakku. Aku tidak menargetkan apa pun untuk Aik selama sekolah. Aku hanya meminta dan berusaha memaksimalkan yang ada pada diri Aik. Semoga dimudahkan. Dan diberi kesabaran. Ya Tuhan!