Thursday, May 23, 2019

Have Faith

Januari 2018, ketika membawa Aik konsul ke psikolog sebelum mendaftarkan Aik ke SD, yang kudapat bukan apa yang kuharapkan. Psikolog yang biasa menangani Aik sedang melanjutkan studi di UGM, tidak bisa ditunggu. Semua tugasnya dialihkan ke psikolog lain yang, lebih muda, imut, dan tampak sedikit rebel.
Aku tidak terlalu puas dengan hasil evaluasinya, karena tes diserahkan pada asisten, wawancara denganku pun oleh asisten. Ketika muncul hasil, aku pengin tertawa sekaligus marah karena nilai kemampuan komunikasi Aik ditulis setara dengan anak satu tahun 2 bulan. Jelas tidak masuk akal, karena pada saat itu Aik sudah dapat berkomunikasi walau patah-patah. Psikolog sebelumnya sudah tidak lagi menghitung jumlah kata yang dikuasai karena sudah jauh di atas 100 kata. Aku minta penjelasan bagaimana bisa muncul kesimpulan seperti itu.
Mbak Psikolog mengeluarkan catatan pengamatannya. Menjelaskan bahwa nilai kemampuan komunikasi adalah agregat dari nilai beberapa kemampuan lainnya, yang kemudian dihitung dengan rumus tertentu. Dia menunjukkan komponennya, dan nilainya. Aku lupa di komponen apa, ada yang dicatat kemampuan Aik setara dengan bayi 3 bulan. Come on.
"Tiga bulan? Serius?"
Aku minta tes diulang, tapi ditolak. Entah tersinggung entah malu, Mbak Psikolog menutup semua hasil tes, dan dengan keras tegas berkata, "Oke mungkin ada sedikit kekeliruan di tes ini. Tapi hasil secara keseluruhan kemampuan Aik masih jauh di bawah usianya sekarang."
Bahwa aku punya PR yang sangat banyak. Bahwa aku harus bekerja sangat keras mengejar ketertinggalan. Bahwa Aik belum siap masuk SD. Kemampuan verbalnya rendah. Kognitifnya rendah. Motoriknya jelek.
"Dia belum bisa menulis. Apa ada sekolah dasar yang membolehkan anak tidak menulis? Bagaimana nanti saat tes? Apa dia mau mengerjakan? Apa dia mampu mengerjakan?"
Jika aku ngotot memasukkan Aik ke sekolah umum, itu hanya sekedar main-main. Aku harus siap jika dia tidak naik kelas. Aku bahkan harus siap jika sekolah menganggap Aik tidak bisa mengikuti sistem pembelajaran dan harus mencari sekolah khusus.
Pulang dari kantor psikolog bukan merasa ringan, aku justru merasa lebih banyak beban. Rekomendasi dari Si Mbak 'dapat mendaftar ke sekolah dasar dengan didampingi shadow teacher.'
It's okay. Saat itu memang itu saja yang dibutuhkan.
Ini beda banget dengan yang kurasakan setiap konsul dengan psikolog sebelumnya. Yang selalu tampak antusias dengan perkembangan Aik sekecil apa pun. Yang selalu menyemangati aku dengan kata-kata yang menyenangkan. Bukan 'selama ini ibu kurang memberikan stimulan.'
Aku senang Si Mbak bilang bahwa Aik belum butuh konsul lagi sampai dua tahun kemudian. Oh ya, aku juga males ketemu dia kurang dari itu. Dua tahun lagi mungkin psikolog sebelumnya sudah kembali bertugas.
***
Sekitar dua tahun lalu ketika survey sekolah untuk Aik, di salah satu sekolah yang kami datangi, Ibu Guru yang menerima kami walaupun ramah tapi tampak kurang terbuka. Aku merasakan penilaian yang 'kurang' terhadap Aik. Dari awal menyampaikan lebih banyak pesimisme ketimbang optimisme. Entah aku yang sensi atau memang dia ingin secara tersirat menyampaikan 'sebenarnya kami males menerima ABK.' Karena yang dicontohkan adalah siswa ABK yang dikembalikan kepada orang tua (baca: dikeluarkan dengan baik-baik), alasannya karena kurangnya kerjasama dari orang tua dalam aktivitas belajar di sekolah.
"Kita nggak bisa berharap anak-anak seperti ini tumbuh seperti anak-anak normal," katanya. Tidak boleh berharap Aik bisa mengikuti pelajaran dan sekolah tinggi, hanya fokus melatih anak untuk mandiri.
"Oh," jawabku, "saya siap jika Aik tidak bisa sekolah tinggi. Saya menyiapkan dia jadi foto model atau bintang film.
"Bu Guru tertawa.
"Kenapa tertawa? Apa yang lucu?" tanyaku, "Dia punya modal. Dan kalau ga bisa jadi dokter apa salahnya jadi model?"
Bu Guru berhenti tertawa, dan aku memutuskan tidak akan menyekolahkan Aik di situ.
***
Seperti biasa, keraguan bukan datang dari satu dua orang. Aku bahkan merasa cuma aku yang yakin Aik bisa belajar di sekolah umum. Jelas bukan di SD Negeri yang ratio guru banding muridnya terlalu kecil. Tapi bahkan sekolah swasta pun hampir semua memberi sinyal tidak bisa.
Mbahnya selalu bertanya, "Aik bisa ngikuti pelajaran?"
Mbah yang lain bahkan bilang, "Kalau Aik tidak bisa ngikuti jangan dipaksa tetep sekolah..."
What the hell.
Aku sudah lama belajar, dan meyakini bahwa aku lebih baik berjuang sendiri. Karena orang-orang yang diharapkan untuk mendukung bukannya mendukung. Sudah lama aku belajar mengabaikan. Tapi tetap saja kadang sikap mereka itu seperti duri beracun di sepanjang perjalanan.
I wish I have written a journal about how school has been going on.
Bagaimana melatih Aik bersikap dan merespon sikap orang lain di sekolah. Bagaimana memberikan pemahaman kepada Aik bahwa dia harus mengikuti semua kegiatan.
Oh iya, aku sempat mencatat UAS pertama Aik. Ya... hal-hal tak terduga seperti itu sering terjadi. Yang menurut kita sepele tapi sebenarnya prinsip...
***
Minggu ini UKK. Dengan jadwal yang padat jelang lebaran, aku tidak yakin ada dispensasi remidi. Lebih berat lagi karena tes dilaksanakan di bulan puasa. Di sekolah, Bu Guru berpesan agar anak-anak berpuasa, sahur jam 3 pagi dan tidak boleh tidur lagi. Banyak salat di masjid. Dan semua pesan Bu Guru itu dilaksanakan oleh Aik. Salat 5 waktu ngajak ke masjid. Bangun sahur jam setengah empat, nunggu subuh dan salat di masjid, lalu melek sampai berangkat sekolah. Karena jadwal belajar tidak berubah, tetap sampai dhuhur, pulang sekolah langsung pindah ke sekolah khusus. Pulang sore, main sebentar, buka. Lalu taraweh di masjid, tidur tetap pukul sembilan.
Akhirnya aku putuskan selama UKK tidak ke sekolah khusus dulu. Pulang sekolah SD langsung makan dan tidur siang. Iya, aku tidak mau memaksa Aik puasa penuh. Walau ibu-ibu di grup whatsapp dengan bangga menceritakan teman-teman Aik sudah puasa penuh, aku tidak peduli. Walau mereka terus memotivasi, aku tidak peduli.
Selain mulai mengajak Aik belajar intensif sejak seminggu sebelum tes, program utamaku adalah menjaga kondisi tubuh Aik baik. Ngantuk dan capek akan merusak mood, yang berarti akan sulit mengajaknya mengerjakan tes.
Hari pertama UKK Aik mengantuk dan beberapa kali diajak cuci muka. Walaupun harus pakai dipush, dua mata pelajaran selesai dikerjakan.
Hari kedua, shadow teacher mengirim kabar gembira. Aik mengerjakan soal dengan lancar jaya. Tidak mengantuk. Tidak menolak. Bahkan membaca sendiri dan langsung mengerjakan tanpa harus diingatkan.
***

Hai, kenalkan Aik. Hampir 9, sudah bisa menggunakan imbuhan -nya. Sudah bisa bertanya apa, siapa, mana. Sudah bisa berlari. Sudah bisa banyak hal yang orang-orang pikir dia belum atau mungkin tidak akan bisa. Baru saja selesai UKK. Iya, membaca dan mengerjakan soal seperti teman-teman sekelasnya yang kebanyakan orang sebut 'normal'. Sebagai hadiahnya, nanti sore diajak jalan-jalan ke G Fan.


No comments: